Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Memaki Waktu dan Kamu

aku ingin memaki waktu. lalu bertanya mengapa kita harus bertemu? kamu hanya bilang, pasti ada alasan tertentu. aku ingin memaki kamu. yang merenggut terlalu banyak kesabaranku. yang mengambil seenaknya senyumku. yang meminjam terlalu lama waktuku. yang merampas rinduku. aku ingin memaki waktu. saat aku harus bertemu kamu. saat aku harus bersama kamu. aku ingin memaki kamu. seandainya kamu tak rajin menyapaku. seandainya kamu tak tersenyum padaku. seandainya kamu tak merecoki hari-hariku. seandainya kamu tak banyak menyuruhku. seandainya kamu tak menghubungiku saat itu. seandainya kamu tak minta aku menemanimu. seandainya kamu tak perlu menyimak ceritaku. seandainya kamu tak perlu datang kerumahku. seandainya kamu tak pernah membaca tulisanku. seandainya kamu tak banyak menebar pesonamu. seandainya kamu tak mengajakku makan sore itu. seandainya kamu tak ceramah panjang di hadapanku. seandainya kamu tak pergi ke konser musik kesukaanku. sean

Berkisah

kita seringkali berkisah, sekedar berkeluh kesah, saat bau tanah masih basah. aku tak fasih menyanggah, dan kamu enggan mengambil jalan tengah. katamu kita ini terlalu sering tertunduk pasrah. dengan setengah terpaksa dan dipaksa, kita memilih berpisah. titik temu seperti suatu wilayah entah berantah. kita tak cukup tenaga dan waktu untuk membantah. sementara semesta mengizinkan raga sejenak singgah. lalu kita sama-sama resah, saat menyambut sebuah senyum merekah.

Sepucuk Surat Sahabat

dijejak rindu, dirantai waktu, kita sama-sama tidak tau. kupengang erat foto kita dulu. hanya ini yang tersisa darimu. aku selalu tersenyum konyol, begitu juga kamu. kita tak pernah terlihat normal, begitu celetukku. tawa kita selalu sama. obrolan kita selalu senada. garis impian kita selalu berbeda. begitukah kita? kamu pernah mantap berkata, kita ini adalah satu jiwa, yang menyimpan cita, cinta, dan asa, seperti doa. begitukah kita? suatu ketika, ruang dimana kita menghabiskan waktu bersama, terasa begitu hampa. nyaris seperti tak ada sisa. aku memandangi ruangan itu berkali-kali. aku rutin berkunjung ruangan itu berkali-kali. berharap kamu juga melakukan itu berkali-kali. tapi aku tak pernah mendapati jawaban. dimana hilangnya kenangan? sesekali kukirim pesan, kepada jemari-jemari Tuhan. aku iseng menunggu balasan, tapi kamu terdiam dengan kesibukkan. aku senang melihatmu baik, lebih baik, dan selalu baik-baik. aku senang mencerca tawamu, berh

Perempuan di Paruh Waktu

Di antara gedung yang beradu mencakar langit, dengan komponen arsitektur yang menebar sengit. Entah siapa yang sedang menjadi sosok paling pelit. Lalu di sudut gang kampung yang sempit, barisan tikus berlarian keluar parit, dalam sekejap perempuan itu menjerit. Menjelang berganti hari, barangnya sudah terkemas rapi. Lelaki itu bersikeras melepasnya pergi. Meski raut wajahnya masih kalut pada emosi. Entah karena birahi yang tak kunjung terpenuhi. Atau sekedar memastikan raganya tak ada di kota yang sama lagi. Matahari menyingsing dari arah yang sama, gurat sinarnya menyusup lembut dari kaca jendela, seakan memaksa fungsi matanya bekerja lalu meraba-raba. Apakah sudah tiba? Ah semua masih sama saja. Kendaraan mengular panjang di setiap ruas jalan. Polisi berjaga dan sesekali melambaikan tangan. Apalagi kalau bukan masalah pelanggaran? Perempuan di paruh waktu, masih saja diam terpaku. dengan sorot mata yang sayu, dengan bibir yang masih membisu. Perempu

kenapa bagaimana

pinterest resources Kau ini kenapa Kau janji bertemu, tapi tak juga kau hampiri aku. Kau bilang tunggu dulu, tapi kau juga yang pergi dulu. Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir. Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan Aku ini bagaimana Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku Kau suruh aku bekerja disitu, aku bekerja kau ganggu aku Kau ini kenapa Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya Aku ini bagaimana Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain Kau ini kenapa Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai Aku ini baga

Surat

Pinterest Resources Aku baru saja menitipkan surat. Kepada tukang pos yang baru saja lewat. Konsekuensinya, membaca saja kamu pasti tak sempat. Sengaja kuselipkan didalamya senja yang lama tidak kamu lihat. Sementara kamu baru saja usai berdoa, lagi - lagi dengan cara yang begitu sederhana. Tapi kau tak bisa berhenti untuk berkata semoga, Kurang lebih begitulah cara kamuflase pinta manusia.

Belantara Peristiwa

Sumber gambar : Pinterest Satu kompi pergi menjauh, lalu ku dengar orang - orang mengeluh. Baju - baju sudah penuh dengan peluh, lalu faktanya sudah banyak yang terjatuh, Kisah - kisah menjadi seperti t ak pernah utuh.     Penjual bunga masih gigih di jalanan, entah berapa puluh tangkai yang dirangkai seharian. Pengamen masih asyik dengan nyanyian, namun tak ada sebatang rokok yang dinyalakan. sebab tiga uang koin ga sanggup buat jajan. Lagi - lagi ia mampir makan di angkringan. Para kuli kalap dengan hidangan. Sementara di pojok taman, Dua orang asyik berkencan, Sesekali mesra bergandengan. Tak jarang menuai pertikaian, Sebab tak ada kabar yang tersampaikan. Siapa lagi yang me ngh arapkan pe rtemuan?   Lanta s siapa lagi yang bisa saling disalahkan? Begitu enggan, dan dengan sungka n, Seorang bap ak merapal jumlah kecelakaan,   yang menyisakan darah - darah bececeran, t api tak kunjung jua menuntas perasaan.   Dengan

Hati-hati.

Sumber Gambar : Pinterest dari atas puncak bukit yang tinggi , kubekap raga sendiri, be gitu dingin udara pagi, dan belum juga muncul gurat sinar mentari.  dari kejauhan terlihat begitu rapi, sekian hektar hamparan padi. ditengahnya ada gubug reyot yang mini. terlihat terasing dan begitu sepi, siapa yang sudi? untuk jadi seorang penghuni. ah, kamu juga tidak peduli. dari jangkauan ilusi, kuhitung bintang jatuh berkali-kali, hingga genap sudah metode hitungan jemari. Kamu begitu percaya diri. berikrar kita ini akan abadi. tetapi kamu tak kunjung kemari, dengan ribuan rasi yang kamu lewati. Sedikit terpaksa, ku  titip salam pada ibu pertiwi, selepas kutemu kan raganya menjauh, pergi. membawa hati, tapi tidak kembali.

Sore

Senja tak kunjung beranjak, dan perjumpaan adalah kumpulan sajak. Mengakumulasikan deretan kata bijak, agar setiap langkah kaki itu tidak terjebak. dengan sedikit lihai, waktu begitu rapi merajut memori. dengan sedikit berlari, cepat-cepat ia kemasi, agar bisa dilihatnya kembali, tanpa harus menahan seseorang pergi. Sore itu tidak seperti biasanya, seseorang datang - tanpa diminta. Di atas meja tidak ada hidangan istimewa, tetapi gelak tawa tidak pernah absen, diantaranya. Ia ingin lebih banyak bicara, dengan kata yang sudah dirangkai lama. Menceritakan sekian rahasia, dari sekian insan manusia, lalu menyublim ke udara. Sesaat jiwanya menetap disana,  tapi entah raganya kelayapan dimana. Bukankah dunia ini fana? Tidak akan ada yang melihat, apalagi hanya untuk sekedar mengingat.

Fatamorgana

Sumber : Pinterest Sudah cukup lama, dua pasang mata, ingin berbicara, dalam sebuah bahasa. Seolah menuai cerita, bahwa dunia ini fana, dan tidak ada apa-apa. Tak banyak kata, yang diselipi makna. Pukul satu malam. Begitulah janji itu terbungkam. Lampu kamar kian temaram, Dan ia masih saja terdiam, Asyik dengan deret kalimat yang terpendam. Dua pasang mata itu tak kunjung terpejam. Katanya dunia ini terlalu kejam, Usai kulihat tubuhnya penuh lebam. ia tak pernah berhenti, menciptakan beragam ilusi. Lalu menuai inspirasi, tanpa sebuah selebrasi. Entah apa yang ia cari, kutemui ia berjalan kesana kemari, lagi-lagi hanya seorang diri, di setiap percakapan dini hari. apakah kita punya luka yang sama? apakah kita membaca halaman buku yang sama? apakah kita menghafal lirik lagu yang sama? apakah kita punya kesamaan tanpa aba-aba? Dari jauh, Terlihat jelas raganya masih utuh, Meski jiwanya tinggal separuh, Tak ada yang berani menyentuh.

Secangkir Kopi

klakson mobil bersahutan, kontras dengan kompleks perhotelan. namun di persimpangan jalan, barista kopi begitu santai membuat racikan. tak pernah ia hiraukan, saat riuh jalanan adalah metamorfosis dari umpatan. kupesan satu cangkir kopi hitam. aroma pekatnya begitu menghujam meski di atas meja tak ada senjata tajam. kuraba saku celana, satu batang rokok masih tersisa. akhirnya kusulut juga, sebab tiap kepulan asapnya, membuatku enggan berkata-kata. aku masih duduk terdiam, meski gelas kopi pesanananku kini tergenggam, tepat setelah seseorang datang dengan wajah muram.

Cuplikan Bercinta

Sumber : Pinterest (La La Land) akankah bercinta, merupakan suatu rekayasa? dalam tiap lembar kitab di dunia, menjabarkan hakikat kekelan pada cinta. akankah bercinta, menjadi tafsir fatamorgana, saat asmara menjelma sebagai bara. ah, kau ini tau apa? bahkan kau tak sempat melihat dunia. kau tak sempat menjejak jengkal setiap benua, apalagi kau tau apa saja yang ada d alam tiap samudra . setiap buku yang kau baca, hanya akan menyisakan kata-kata, dan kau direcoki bahwa cinta itu nyata. lalu bagaimana nasib antariksa? apakah ada yang mengarungi luar angkasa? lantas apa kabar semesta? akankah mereka juga bercinta? seperti halnya tradisi kebiasaan, namun penuh dengan pendiktean. tentang percintaan, tentang pernikahan, tentang perkawinan, bahkan tentang keturunan. semua adalah sebuah keharusan, sebab kita hanyalah objek keputusan.

Puisi Selamat Tinggal

dari gerbang keberangkatan, tak ditemukan titik kerinduan, tidak juga kata maaf yang diselipkan, sosoknya terkemas rapi dalam kepergian. ia terus berkeliaran, menggugah setiap kenangan. ia tak kuasa menulis pesan, setiap kata seakan tak terbantahkan. ia selalu mencari persinggahan, memaksa tuan rumah memperilakan. kereta membawa raganya lebih jauh, sesekali meraba peta dalam atlas lusuh,  tak peduli berapa kilometer yang harus ditempuh.  hingga sampai pada tujuan, tersebar banyak lambaian tangan, yang menyambut kedatangan, diliputi kehangatan, penuh kesederhanaan,   saat menafsikan kehidupan. lalu ia hanya perlu terus berjalan, tanpa perlu menyalahkan keadaan.

Lampu Sorot

lampu sorot memecah kegelapan, berhasil menyibak tirai keheningan. tak ada kursi kosong di tengah pertunjukan. lalu kau temui setiap baris yang dipenuhi pasangan. hujan tak kunjung mereda, seirama lagu yang memecah suasana, senada percakapan yang diselingi tawa, namun tak berhenti memainkan prasangka.  sesekali kau amati pasangan di depan, saat penyanyi menyanyikan lagu kebanggaan, namun mereka justru larut dalam keterdiaman. sementara lampu sorot tak kunjung menangkap kemesraan. kita lebih sering menyaksikan, gelagat orang yang berseliweran, mengusik setiap hal yang beradu di pikiran  kita tak sempat membuat rekaman, tentang perbincangan di bawah rintik hujan. kita lalu kembali, saat hari telah berganti, berdiri di atas kaki sendiri,  meski tak sempat mengucap selamat pagi.

Gurat Sembilu

sebuah karya yang dipajang pada ARTJOG9 di ambang pintu, kehadiran adalah janji yang membeku, tapi aku tak pernah luput menghitung hari yang berlalu. akan kau temukan sendu, dari balik gurat bola mataku, yang berhasil menghabiskan pilu. di dalam ruang tamu, tidak ada berkas foto jaman dahulu, sebagai satu kebanggan saat masuk rumahku, tidak ada senyum dalam figura seperti milikmu. sebagai bentuk keabadiaan satu keluarga pada waktu. aku tak sempat memanggil ayah ibu, untuk sekedar berfoto bersamaku dan adikku, sebelum keduanya memutuskan kabur dalam ingatanku. waktu pergi begitu saja menjauhi kelabu. aku dan adikku - dalam gubug kecil milik kakekku. kucoba menemui ibu, di ujung telepon kusembunyikan haru. kemana perginya ayahku? apa mereka akan menemuiku? diatas kuburanku? tanyaku -- selalu. aku masih terus menunggu. sosoknya ada di sampingku. demikian realita menghantamku. tidak ada aku, dan juga adikku, dalam diri ibu dan ayahku. ah bukan begit