Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Pemuda Tanpa Nama

pemuda tanpa nama, membawa amanah semesta mengiring nasib sebuah bangsa. pemuda tanpa nama, berdiri di bawah tiang bendera, menyuarakan satu suara. pemuda tanpa nama, sesekali berziarah, pada besarnya sejarah. pemuda tanpa nama, karut pada dedikasi, memenangkan diri sendiri, di depan ibu pertiwi. sesekali kembali pada titik bifurkasi, tentang tonggak sebuah reformasi. akankah dikremasi ataukah abadi dalam setiap puisi. pemuda tanpa nama, tak lagi banyak beradu, duduk termangu dan memutar memori jaman dulu. tentang semangat yang tidak pernah padam, tentang cita-cita yang tertanam, tentang setiap perjuangan yang terekam, menjadi bukti negeri ini tidak bungkam ketika ditikam. pemuda tanpa nama akankah memberikan perubahan? akankah menuai gerakan? akankah saling beriringan? akankah mengentas kemiskinan? akankah menggebrak pembangunan? akankah menumpas penindasan? akankah memberhentikan kebohongan? akankah menuntask

Duniawi

Hujan berhasil menutup hari. Setiap orang mulai menciptakan semestanya sendiri, dari sorot matanya tertulis berbait-bait puisi. Kau akan mempercayai, bahwa semua hal akan berakhir seperti ini. Semua orang akan pergi, tanpa waktu yang pasti.  Tidak ada yang peduli Tidak ada yang bisa kau jumpai. Tidak ada satu orang pun yang kau kenali. Tidak ada yang benar - benar mengerti, bagaimana menciptakan sepi, hingga tidak ada lagi yang bisa dimiliki. Tidak ada yang benar - benar memahami, bagaimana isi hati, hingga terselip di antara belati. Entah siapa yang akan mati, dan paling banyak mengundang empati. Entah siapa yang akan kembali, dengan mengucap selamat pagi. Entah siapa yang akan berhenti, pada perdamaian kepada badai. Semuanya sibuk memutar memori, pada rasa yang tak sampai, pada sabar yang tak bertepi, pada kenangan yang tak basi.

Satu Purnama

Resource : Pinterest on fivehundredpx Pada satu purnama, kehadiran tanpa papan nama. Identitas seperti sebuah lencana, apa yang tertuang di dalamnya adalah rencana. Pada satu purnama, hujan berdialog tanpa irama, dan tidak ada yang saling bertegur sapa. Orang - orang mulai menulis sajak yang sama, dengan cara yang berbeda, berharap prasangka mereka terbaca. Namun, tidak semuanya bersuara, ada yang asik menyimpan rahasia. Tidak bisa berhenti ber-sinestesia, mengandalkan sistem panca indera, lalu rikuh angin barat laut memecah suasana. Siapa sangka, waktu memberi kesempatan, pada setiap keterasingan, menciptakan seutas senyuman. Dengan sebuah uluran tangan, sebagai awal pertemuan, yang menjadi dasar ingatan. Atau sekedar mengisi kesendirian, dan terjatuh pada titik perpisahan. Sesingkat itukah kehidupan yang selama ini dibanggakan?