Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Sigaret

Ada yang memaksa kita bersidekap, diantara malam yang semakin membekap. setiap nyala dari satu puntung , adalah sebuah sem angat dari jiwa - jiwa yang terasa buntung .         Senyum itu tersungging penuh singgung , bersama an hembusan asa p sigaret yang menguak bersama sesak.  Setia p sen ti puntung rokok adalah sebuah nafas yang telah lelah mencari celah . Puntung roko k favorit da ri warung yang irit ,   menja di potret yang tak pernah berhenti berdalih, atas apa yang selama ini telah kau pilih. sigaret itu tak pernah terasa habis, meski oksigen yang kau hirup menipis, meski racunnya meras uk lebih dalam, kita sama - sama menjadi pasif dalam diam. asap dan abu dari sigaret tak pernah luput dari suatu penat, hingga menyulut banyak debat . tapi semuanya mas ih sama - sama memegang puntung rokoknya, masih mendamba harapan, meski terlahir dalam penderitaan. tapi semuanya percaya, semesta pandai memaafkan dan memberi balasan pada wak

Penikmat lara

Rindu itu kembali membelenggu jiwa - jiwa yang tandu. Sudah bosan diterpa omong kosong penantian, bersemayam di ujung malam, hingga hanya air mata yang membungkam. Di ujung cakrawala, dua manusia bersendau gurau mengingat mimpi selagi bersimpuh janji. terdengar manis, atau bahkan miris. dua manusia yang sama - sama sedang mengarang cerita, cerita dengan suka tanpa duka untuk mewujudkan asa. keduanya tersenyum sembari seringkali terkekeh. entah karena tidak juga saling ngeh, atau memang sedah ada yang eh. sementara itu, penikmat lara sedang duduk bersila di sebrang dua manusia. sambil terus menghidupkan puntung rokok dengan stok satu slop. terdengar gila? sama sekali tidak. penikmat lara tau, dua manusia itu belum saatnya jatuh. penikmat lara tau, dua manusia itu belum berjalan jauh. penikmat lara tau, dua manusia itu hanya sedang berteduh. berteduh dari embel - embel perasaan terenyuh. hidup dua manusia itu berkisar dari peredaran asap rokok penikmat lara. hi

Surat Yang Tak Pernah Sampai

(Dikutip dari Filosofi Kopi, Dee Lestari dengan beberapa penggubahan) Suratmu itu tak akan pernah terkirim, karena sebenarnya itu hanya keinginan berilusi untuk berbicara pada dirimu sendiri.  Kamu hanya ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang mencari makan, dengan malam, atau bahkan dengan detik jam yang seakan tak ingin menggeser rotasinya. Semuanya tentang dia. Dia, yang tidak pernah kamu mengerti.  Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta. Sebelah darimu menginginkan agar dia datang,  membencimu hingga muak dan membuatnya mendekati gila,  menertawakan segala kebodohannya,  kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu,  menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa.  Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya- dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah

b u n g k a m

Bungkam itu perlahan menyeruak dari sanubari. Jemari itu tak se luwes biasanya, perlahan terasa kaku. Jiwa itu tak setenang biasanya, perlahan terasa terbelenggu. Senyum itu tak selepas biasanya, perlahan terasa kelabu. Seakan lengah menyibak tirai - tirai dari jendela kehidupan yang kelamaan terasa membosankan.  Rasa hambar yang muncul ketika kau coba menyibaknya. Bukankah, selama ini kamu yang saya kenal, atau saya yang kamu kenal sama - sama mengerti apa yang terjadi? Lantas, apa yang salah? Jarum jam masih terus berputar ke arah kanan. Bukan lagi soal menghitung detik yang teracuhkan, menit yang terabaikan, bahkan hitungan jam, hari, bulan, dan tahun yang lama - lama terhempas kasar ke dalam kenangan. Kenangan yang seharusnya dapat kamu dan saya habiskan dengan senyum yang merekah diselingi tawa yang lepas hingga senja bahkan petang menjemput bersamaan. Kenangan yang seharusnya dapat kamu dan saya andai - andai dengan tersipu malu. Kenangan yang seharusnya dapat