Jemari itu tak se luwes biasanya, perlahan terasa kaku.
Jiwa itu tak setenang biasanya, perlahan terasa terbelenggu.
Senyum itu tak selepas biasanya, perlahan terasa kelabu.
Seakan lengah menyibak tirai - tirai dari jendela kehidupan yang kelamaan terasa membosankan.
Rasa hambar yang muncul ketika kau coba menyibaknya.
Bukankah, selama ini kamu yang saya kenal, atau saya yang kamu kenal sama - sama mengerti apa yang terjadi?
Lantas, apa yang salah?
Jarum jam masih terus berputar ke arah kanan.
Bukan lagi soal menghitung detik yang teracuhkan, menit yang terabaikan, bahkan hitungan jam, hari, bulan, dan tahun yang lama - lama terhempas kasar ke dalam kenangan.
Kenangan yang seharusnya dapat kamu dan saya habiskan dengan senyum yang merekah diselingi tawa yang lepas hingga senja bahkan petang menjemput bersamaan.
Kenangan yang seharusnya dapat kamu dan saya andai - andai dengan tersipu malu.
Kenangan yang seharusnya dapat kamu dan saya kumpulkan hingga akhirnya sama - sama memberi tahunya, ketika saya dan kamu bertemu lagi.
Kenangan yang seharusnya tak perlu luka ketika dikeruk.
Kenangan yang seharusnya tek perlu takut ditorehkan.
Kenangan yang seharusnya tak perluk sungkan diceritakan.
Pernah Engkau dapati jarum jam berputar ke arah kiri?
Mustahil dan tentunya susah ditemukan, kecuali jam yang kau jadikan patokan berada pada kondisi yang tidak semestinya.
Seperti itu keadaannya.
Saling mendoa, berharap waktu dapat berbalik semudah ketika saya dan kamu membalikkan telapak tangan.
Apa yang menjadi tumpuanku dan tumpuanmu sama - sama berada pada patokan dengan kondisi tak semestinya.
Semacam pertanyaan tanpa tanda tanya.
Akan ada masanya, dimana dinding yang selama ini kamu dan saya bangun dengan sama tinggi akan tergerus.
Akan ada masanya, dimana kamu dan saya semakin berjalan lebih jauh maka akan mengikuti teori Christopher Colombus.
Akan ada masanya, jalan berpencar yang selama ini kamu dan saya ambil akan berada pada suatu titik temu.
Akan ada masanya, setiap langkah kamu dan saya yang terjejak di muka bumi berada di suatu jalan buntu.
Akan ada masanya, dimana kamu dan saya bersamaan memandangi sinar bulan yang menjerumuskan pada kenangan.
Dan akan ada masanya pul, catatan perjalanan kamu dan saya akan terkhatamkan bersamaan dengan adanya pertemuan.
Untuk itulah.
Mengapa, ada bungkam yang mengintai ruang.
Mengapa, ada bungkam yang merantai kata.
Sebab,
Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta kadang buta aksara.
Sebab,
membisu itu anugrah.
berbahagialah, senantiasa.
tersenyumlah, senantiasa.
seperti hadirmu, di ujung kegelisahan yang terbungkam.
Komentar
Posting Komentar