Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2014

Rumah Tanpa Jendela

Kami adalah pemuda, yang menghirup udara pagi lalu menghempas raga dalam kasur empuk setiap petang menjemput. Menyerah tak berdaya, seakan mampu menjadi pemberdaya. Kami bermukim dalam rumah kecil, di sudut tak terjamah, oleh kebrutalan dunia. kami berlindung, menutup telinga rapat - rapat mengunci pintu rumah rapat - rapat. hanya boleh oksigen dan karbon dioksida yang merembet celah ventilasi tak boleh ada kata apalagi luka. Kami sama - sama menunggu senja. Di dalam goresan ufuk oranyenya kami mendoa. Tangan kami tak lagi mampu berpagutan, kami saling melepas beban, dalam rona sendu yang disuguh manis oleh senja. Di dalam rumah tanpa jendela, yang awalnya tak pernah bersua apalagi bertegur sapa. kami bercengkrama, merangkul rapuh kami bercanda, mengembalikan pondasi yang mulai lapuk kami bernyanyi, meredam gema - gema suara sirene tak berkehendak. Kami menjejakkan kaki di pantai sembari berlari, menghalau mentari di ufuk timur. bekas jejak langkah kak

Hai, Pemuda!

Keluarlah, wahai pemuda! Jejakmu kini telah tercium Namun semangatmu mendadak terkulum terhempas tak manis di kurikulum. Sekali lagi, Pemuda! Apa kau tak mendengar? jeritan kepedihan yang menggelegar? dari kalangan yang gulung tikar. Hai, Pemuda! Jeritan rakyat kecil yang meronta kembali berteriak mengintai kata yang membesit debu di pelupuk mata. Pemuda dan He, Pemuda! Tuli, kau? Bisu, kau? Bungkam saja terus hingga hatimu luluh tergerus Dimana, Engkau? Menunggu dalam gubugmu diam terbelenggu dari intaian tuntutanmu membasuh diri dalam sendu.