Langsung ke konten utama

Rumah Tanpa Jendela




Kami adalah pemuda,
yang menghirup udara pagi lalu menghempas raga dalam kasur empuk setiap petang menjemput.
Menyerah tak berdaya,
seakan mampu menjadi pemberdaya.

Kami bermukim dalam rumah kecil,
di sudut tak terjamah, oleh kebrutalan dunia.
kami berlindung,
menutup telinga rapat - rapat
mengunci pintu rumah rapat - rapat.
hanya boleh oksigen dan karbon dioksida yang merembet celah ventilasi
tak boleh ada kata
apalagi luka.

Kami sama - sama menunggu senja.
Di dalam goresan ufuk oranyenya kami mendoa.
Tangan kami tak lagi mampu berpagutan,
kami saling melepas beban,
dalam rona sendu yang disuguh manis oleh senja.

Di dalam rumah tanpa jendela,
yang awalnya tak pernah bersua
apalagi bertegur sapa.
kami bercengkrama, merangkul rapuh
kami bercanda, mengembalikan pondasi yang mulai lapuk
kami bernyanyi, meredam gema - gema suara sirene tak berkehendak.

Kami menjejakkan kaki di pantai sembari berlari,
menghalau mentari di ufuk timur.
bekas jejak langkah kaki kami, menjadi bekas impian kami.
jiwa kami terasa melayang,
entah kemana.

Kami kembali bergandengan tangan,
melompat kasar dari ketinggian sekian,
mencoba menjadi penyelamat,
di balik jiwa yang sudah skak mat.

Sudah berapa kali senja yang terlewat?
Hanya diisi tangis yang menjelma bengis.
Dunia ini fana.
Seakan hanyalah fatamorgana.
Dalam rumah ibadah, kami kembali mendoa dengan doa yang sama.
Menjejalkan permohonan, hingga ampunan yang terlontar dari mulut berdosa
Mengikat kencang jiwa yang terdampar jauh,
sejauh mata memandang perahu di pantai yang mencoba menggapai pesisir.

Kami merapatkan barisan,
membiarkan kecaman berlalu,
hingga napas mencapai paru - paru,

Kami merapatkan barisan,
menghalau gebrakan,
mencuri gerakan,

Rumah kami tak berjendela,
agar tak ada cela,
apalagi cerca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebentar

Aku bilang tunggu sebentar. Kita sedang tak saling mengejar. Kita juga tak sedang asik berkelakar. Katamu kau tak suka sesumbar. Begitu urusanmu dan minuman di bar. Atau tentang mengapa matamu selalu berbinar. Kau juga tak suka hingar bingar. Tak peduli dengan berita yang tersebar. Atau karena pasangan yang baru saja bubar. Lalu aku sibuk merapal ikrar, di tengah pulau dan terdampar. Cinta ini kau bilang harus dibayar. Dengan setengah mendesak dan tak sabar. Aku bilang tunggu sebentar. Kamu dan fantasimu yang liar. Namun jauh dari caraku bernalar. Begitu pula pandanganku membuyar.

Liburan.

sumber gambar : raya pos siapa pembenci liburan? semua sarana diwarnai kepadatan. orang - orang membentuk kerumunan, di stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, disibukkan jam keberangkatan dan kedatangan.  dan ruas jalan tidak pernah lepas dari bumbu kemacetan. hanya pada saat liburan. akan ada kelipatan setiap antrean. beramai - ramai membuat keributan. semua orang berduyun - duyun mencari hiburan. saat berhasil rebutan, dengan souvenir kesukaan. akan menjadi sesuatu yang membanggakan. kau akan terus bersenggolan, dengan orang asing yang berpapasan. lalu kau akan dengar teriakan, tukang becak yang tidak diberi jalan, dan pedagang yang sedang berjualan. kaum lanjut usia mulai kelelahan, berjalan menuju parkir kendaraan. anak kecil meronta tentang mainan, yang dijual pedagang pinggir jalan. tidak akan yang mempermasalahkan, tentang jumlah rupiah yang dikeluarkan. begitulah liburan. yang digadang melepas kepenatan. j...

Fatamorgana

Sumber : Pinterest Sudah cukup lama, dua pasang mata, ingin berbicara, dalam sebuah bahasa. Seolah menuai cerita, bahwa dunia ini fana, dan tidak ada apa-apa. Tak banyak kata, yang diselipi makna. Pukul satu malam. Begitulah janji itu terbungkam. Lampu kamar kian temaram, Dan ia masih saja terdiam, Asyik dengan deret kalimat yang terpendam. Dua pasang mata itu tak kunjung terpejam. Katanya dunia ini terlalu kejam, Usai kulihat tubuhnya penuh lebam. ia tak pernah berhenti, menciptakan beragam ilusi. Lalu menuai inspirasi, tanpa sebuah selebrasi. Entah apa yang ia cari, kutemui ia berjalan kesana kemari, lagi-lagi hanya seorang diri, di setiap percakapan dini hari. apakah kita punya luka yang sama? apakah kita membaca halaman buku yang sama? apakah kita menghafal lirik lagu yang sama? apakah kita punya kesamaan tanpa aba-aba? Dari jauh, Terlihat jelas raganya masih utuh, Meski jiwanya tinggal separuh, Tak ada yang berani menyentuh. ...