Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Rumah Tanpa Jendela

Kami adalah pemuda, yang menghirup udara pagi lalu menghempas raga dalam kasur empuk setiap petang menjemput. Menyerah tak berdaya, seakan mampu menjadi pemberdaya. Kami bermukim dalam rumah kecil, di sudut tak terjamah, oleh kebrutalan dunia. kami berlindung, menutup telinga rapat - rapat mengunci pintu rumah rapat - rapat. hanya boleh oksigen dan karbon dioksida yang merembet celah ventilasi tak boleh ada kata apalagi luka. Kami sama - sama menunggu senja. Di dalam goresan ufuk oranyenya kami mendoa. Tangan kami tak lagi mampu berpagutan, kami saling melepas beban, dalam rona sendu yang disuguh manis oleh senja. Di dalam rumah tanpa jendela, yang awalnya tak pernah bersua apalagi bertegur sapa. kami bercengkrama, merangkul rapuh kami bercanda, mengembalikan pondasi yang mulai lapuk kami bernyanyi, meredam gema - gema suara sirene tak berkehendak. Kami menjejakkan kaki di pantai sembari berlari, menghalau mentari di ufuk timur. bekas jejak langkah kak

Hai, Pemuda!

Keluarlah, wahai pemuda! Jejakmu kini telah tercium Namun semangatmu mendadak terkulum terhempas tak manis di kurikulum. Sekali lagi, Pemuda! Apa kau tak mendengar? jeritan kepedihan yang menggelegar? dari kalangan yang gulung tikar. Hai, Pemuda! Jeritan rakyat kecil yang meronta kembali berteriak mengintai kata yang membesit debu di pelupuk mata. Pemuda dan He, Pemuda! Tuli, kau? Bisu, kau? Bungkam saja terus hingga hatimu luluh tergerus Dimana, Engkau? Menunggu dalam gubugmu diam terbelenggu dari intaian tuntutanmu membasuh diri dalam sendu.

Senandung Senja

Mentari mengindik malu, menghempas penatnya di peraduan manis bernama cakrawala. Sang Gadis kembali mencari inspirasi namun tak ingin berfantasi. Senja bersenandung teduh, hati berlapis baja mulai luluh, menepis rapuh, seakan takut kembali terjatuh. Apakah mimpi ini terlalu tinggi? Apakah angan ini terlalu jauh? Apakah harapan ini terlalu berlebihan? Apakah khayalan ini terlalu fatamorgana? Atau Apakah disini lupa bagaimana mencatat impian? Apakah disini lupa bagaimana membuat angan? Apakah disini lupa bagaimana cara harapan bekerja? Apakah disini lupa bagaimana fatamorgana identik dengan khayalan? Terlalu banyak keluhan! Lantas, apa tak ada yang berjuang? Mengubah keluhan menjadi senandung? Bukankah begitu cara hidup bekerja?

Masih Ingat Senja?

Namanya senja. Nama yang bagus bukan? Senja bersua pada mentari, melambaikan tangannya dan melepas kepergiannya di ujung cakrawala .   Senja menjemput rembulan, menjamunya kemudian menyambut dengan sendu. Setelah personil dewi malam lengkap, senja kembali menyembunyikan diri. Di kawasan lintang sekian dan keadaan horizontal sekian, senja kembali tak nampak. Siapa yang tau? Di bawah naungan senja, kedua bocah itu berjalan beriringan melintasi rel kereta api. Di bawah naungan senja, kedua bocah itu saling berceloteh, bercerita, dan menumpahkan tawa mereka. Di bawah naungan senja, kedua bocah itu bernyanyi sembari mengisi sela jemari mereka yang kosong. Di bawah naungan senja, kedua bocah itu bersepeda menyusuri perkotaan dan terhenti kelaparan. Kedua bocah itu mencari arah, melintasi aral hingga terhenti di altar. Saat mereka dewasa kelak, Masihkah mereka sempat mengingat senja? Masihkah mereka sempat mengindik malu dari balik jendela untuk melihat guratan oranye yan

Sudut Taman Budaya

Gedung itu berdiri tegap, berselimut tembok kokoh-berpondasi tangguh Menghadang hasil karya seniman Meraba jiwanya, membakar semangatnya Menguras raganya untuk sumbangsih berkarya Gedung itu berdiri tegak menantang dalam  keramaian kota Menyombongkan diri dengan anulir hiruk pikuk perkotaan Meredam bisingnya suara-suara berkelas tinggi Mengalihkan sejenak hati penikmat seni untuk mengapresiasi Senja bergulir, petang menjemput Aku menerka, menerawang dan meramalkan setiap kejadian Panca indra bekerja layaknya seksi dokumentasi, mencoba merekam Seandainya lensa mata bisa menangkap setiap kejadian, Aku akan memintanya bekerja seperti itu Lantunan musik tradisional membuka tirai malam itu, Harmonisasi antara nyanyian sang biola dan sang empu Membawa taman budaya pada sudut klasikal kontemporer seumur jagung Disudut taman budaya yang lain, Tuan nona kesepian duduk sebangku dan terpaku berdua tak terduga Membi

Kisah Tentara Diktaktor

Derap langkah kaki serdadu tentara bergerak mendekat, hentakkan ketegasan selimuti naluri, jiwa yang kosong semua yang ada disitu membisu tak bergerak, terbuai begitu lihai dalam derap langkah sang tentara angkuh Bahkan,tak ada yang dapat mempercaya semua ini semua orang menjelma menjadi upik abu korban diktaktor, menuruti setiap hentakkan suara lantang sang tentara angkuh terpenjara dan terjerembab hingga tak dapat menembus keluar, pada saat itu semua berlutut, menangis dan berteriak semampunya lalu, akankah adakah uluran tangan? adakah yang akan menjaga kami ketika nanti, sebelum kami terjatuh? adakah yang nantinya akan berdiri disamping kami? adakah yang nantinya akan melingkarkan badannya disekitar kami? adakah yang akan membawa kami lari? adakah yang akan menyelamatkan kami? Dan akankah nanti akan ada yang mengajari kami "apa itu bahagia" Kepada tentara angkuh, atas segala diktaktornya yang tak pernah masuk akal saa