Langsung ke konten utama

Masih Ingat Senja?





Namanya senja.
Nama yang bagus bukan?
Senja bersua pada mentari, melambaikan tangannya dan melepas kepergiannya di ujung cakrawala
.  
Senja menjemput rembulan, menjamunya kemudian menyambut dengan sendu.
Setelah personil dewi malam lengkap, senja kembali menyembunyikan diri.
Di kawasan lintang sekian dan keadaan horizontal sekian,
senja kembali tak nampak.

Siapa yang tau?
Di bawah naungan senja, kedua bocah itu berjalan beriringan melintasi rel kereta api.
Di bawah naungan senja, kedua bocah itu saling berceloteh, bercerita, dan menumpahkan tawa mereka.

Di bawah naungan senja, kedua bocah itu bernyanyi sembari mengisi sela jemari mereka yang kosong.
Di bawah naungan senja, kedua bocah itu bersepeda menyusuri perkotaan dan terhenti kelaparan.
Kedua bocah itu mencari arah, melintasi aral hingga terhenti di altar.

Saat mereka dewasa kelak,
Masihkah mereka sempat mengingat senja?
Masihkah mereka sempat mengindik malu dari balik jendela untuk melihat guratan oranye yang lama-lama tak setegas dahulu.
Dahulu, sebelum akhirnya hanya senja
Yang menjadi saksi bisu canda dan tawa yang terhambur di jalanan.
Yang menjadi saksi bisu tersulutnya amarah hingga ego menang telak.
Yang menjadi saksi bisu tangis yang tercipta di ujung cakrawala
Yang menjadi saksi bisu tragedi hilangnya kasih diantara mereka
Dan yang menjadi saksi bisu, terhembusnya angin malam yang dingin di antara pelarian keduanya.

Suatu malam dimana mereka telah dewasa,
Malam itu mereka berdua terjaga, tak memejamkan mata.
Jarak mereka tak sedekat dulu, terbelah lautan samudra, terpisah benua.
Aroma kafein dan nikotin beradu dan menyeruak perlahan.
Menembus dalam khrah pakaian yang mereka kenakan.
Keduanya mendamba purnama dan mengadu pada rembulan,
Salah siapa apabila kini hanya mampu merengkuh dinginnya angin malam?
Salah siapa apabila kini hanya mampu merapikan kenangan yang retak dihantam gengsi?
Salah siapa apabila kini hanya mampu jatuh cinta dibalik topeng?
Lantas, pada akhirnya salah siapa apabila kini mereka hanya saling mendekap dalam doa?
Salah senja?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebentar

Aku bilang tunggu sebentar. Kita sedang tak saling mengejar. Kita juga tak sedang asik berkelakar. Katamu kau tak suka sesumbar. Begitu urusanmu dan minuman di bar. Atau tentang mengapa matamu selalu berbinar. Kau juga tak suka hingar bingar. Tak peduli dengan berita yang tersebar. Atau karena pasangan yang baru saja bubar. Lalu aku sibuk merapal ikrar, di tengah pulau dan terdampar. Cinta ini kau bilang harus dibayar. Dengan setengah mendesak dan tak sabar. Aku bilang tunggu sebentar. Kamu dan fantasimu yang liar. Namun jauh dari caraku bernalar. Begitu pula pandanganku membuyar.

Liburan.

sumber gambar : raya pos siapa pembenci liburan? semua sarana diwarnai kepadatan. orang - orang membentuk kerumunan, di stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, disibukkan jam keberangkatan dan kedatangan.  dan ruas jalan tidak pernah lepas dari bumbu kemacetan. hanya pada saat liburan. akan ada kelipatan setiap antrean. beramai - ramai membuat keributan. semua orang berduyun - duyun mencari hiburan. saat berhasil rebutan, dengan souvenir kesukaan. akan menjadi sesuatu yang membanggakan. kau akan terus bersenggolan, dengan orang asing yang berpapasan. lalu kau akan dengar teriakan, tukang becak yang tidak diberi jalan, dan pedagang yang sedang berjualan. kaum lanjut usia mulai kelelahan, berjalan menuju parkir kendaraan. anak kecil meronta tentang mainan, yang dijual pedagang pinggir jalan. tidak akan yang mempermasalahkan, tentang jumlah rupiah yang dikeluarkan. begitulah liburan. yang digadang melepas kepenatan. j...

Fatamorgana

Sumber : Pinterest Sudah cukup lama, dua pasang mata, ingin berbicara, dalam sebuah bahasa. Seolah menuai cerita, bahwa dunia ini fana, dan tidak ada apa-apa. Tak banyak kata, yang diselipi makna. Pukul satu malam. Begitulah janji itu terbungkam. Lampu kamar kian temaram, Dan ia masih saja terdiam, Asyik dengan deret kalimat yang terpendam. Dua pasang mata itu tak kunjung terpejam. Katanya dunia ini terlalu kejam, Usai kulihat tubuhnya penuh lebam. ia tak pernah berhenti, menciptakan beragam ilusi. Lalu menuai inspirasi, tanpa sebuah selebrasi. Entah apa yang ia cari, kutemui ia berjalan kesana kemari, lagi-lagi hanya seorang diri, di setiap percakapan dini hari. apakah kita punya luka yang sama? apakah kita membaca halaman buku yang sama? apakah kita menghafal lirik lagu yang sama? apakah kita punya kesamaan tanpa aba-aba? Dari jauh, Terlihat jelas raganya masih utuh, Meski jiwanya tinggal separuh, Tak ada yang berani menyentuh. ...