Langsung ke konten utama

Sudut Taman Budaya






Gedung itu berdiri tegap, berselimut tembok kokoh-berpondasi tangguh
Menghadang hasil karya seniman
Meraba jiwanya, membakar semangatnya
Menguras raganya untuk sumbangsih berkarya

Gedung itu berdiri tegak menantang dalam  keramaian kota
Menyombongkan diri dengan anulir hiruk pikuk perkotaan
Meredam bisingnya suara-suara berkelas tinggi
Mengalihkan sejenak hati penikmat seni untuk mengapresiasi

Senja bergulir, petang menjemput
Aku menerka, menerawang dan meramalkan setiap kejadian
Panca indra bekerja layaknya seksi dokumentasi, mencoba merekam
Seandainya lensa mata bisa menangkap setiap kejadian,
Aku akan memintanya bekerja seperti itu

Lantunan musik tradisional membuka tirai malam itu,
Harmonisasi antara nyanyian sang biola dan sang empu
Membawa taman budaya pada sudut klasikal kontemporer seumur jagung

Disudut taman budaya yang lain,
Tuan nona kesepian duduk sebangku dan terpaku
berdua tak terduga
Membisu namun menganalisa
Tuan sibuk dengan jaket yang membalut rapat tubuhnya
Nona sibuk dengan posisi duduknya

Tak ada yang tau, iringan musik jazz serta perkusi itu
Membawa mereka larut pada pikiran masing-masing
Mencoba bicara, justru membisu perlahan
Mengenggam asa berucap dan bersua, masih menganalisa

Hingga dentang jarum jam tengah malam
Tuan nona masih duduk dalam sunyi
Tak ada kata perpisahan,
Hingga akhirnya jemari mereka tak saling berpagutan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebentar

Aku bilang tunggu sebentar. Kita sedang tak saling mengejar. Kita juga tak sedang asik berkelakar. Katamu kau tak suka sesumbar. Begitu urusanmu dan minuman di bar. Atau tentang mengapa matamu selalu berbinar. Kau juga tak suka hingar bingar. Tak peduli dengan berita yang tersebar. Atau karena pasangan yang baru saja bubar. Lalu aku sibuk merapal ikrar, di tengah pulau dan terdampar. Cinta ini kau bilang harus dibayar. Dengan setengah mendesak dan tak sabar. Aku bilang tunggu sebentar. Kamu dan fantasimu yang liar. Namun jauh dari caraku bernalar. Begitu pula pandanganku membuyar.

Liburan.

sumber gambar : raya pos siapa pembenci liburan? semua sarana diwarnai kepadatan. orang - orang membentuk kerumunan, di stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, disibukkan jam keberangkatan dan kedatangan.  dan ruas jalan tidak pernah lepas dari bumbu kemacetan. hanya pada saat liburan. akan ada kelipatan setiap antrean. beramai - ramai membuat keributan. semua orang berduyun - duyun mencari hiburan. saat berhasil rebutan, dengan souvenir kesukaan. akan menjadi sesuatu yang membanggakan. kau akan terus bersenggolan, dengan orang asing yang berpapasan. lalu kau akan dengar teriakan, tukang becak yang tidak diberi jalan, dan pedagang yang sedang berjualan. kaum lanjut usia mulai kelelahan, berjalan menuju parkir kendaraan. anak kecil meronta tentang mainan, yang dijual pedagang pinggir jalan. tidak akan yang mempermasalahkan, tentang jumlah rupiah yang dikeluarkan. begitulah liburan. yang digadang melepas kepenatan. j...

Fatamorgana

Sumber : Pinterest Sudah cukup lama, dua pasang mata, ingin berbicara, dalam sebuah bahasa. Seolah menuai cerita, bahwa dunia ini fana, dan tidak ada apa-apa. Tak banyak kata, yang diselipi makna. Pukul satu malam. Begitulah janji itu terbungkam. Lampu kamar kian temaram, Dan ia masih saja terdiam, Asyik dengan deret kalimat yang terpendam. Dua pasang mata itu tak kunjung terpejam. Katanya dunia ini terlalu kejam, Usai kulihat tubuhnya penuh lebam. ia tak pernah berhenti, menciptakan beragam ilusi. Lalu menuai inspirasi, tanpa sebuah selebrasi. Entah apa yang ia cari, kutemui ia berjalan kesana kemari, lagi-lagi hanya seorang diri, di setiap percakapan dini hari. apakah kita punya luka yang sama? apakah kita membaca halaman buku yang sama? apakah kita menghafal lirik lagu yang sama? apakah kita punya kesamaan tanpa aba-aba? Dari jauh, Terlihat jelas raganya masih utuh, Meski jiwanya tinggal separuh, Tak ada yang berani menyentuh. ...