Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Liburan.

sumber gambar : raya pos siapa pembenci liburan? semua sarana diwarnai kepadatan. orang - orang membentuk kerumunan, di stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, disibukkan jam keberangkatan dan kedatangan.  dan ruas jalan tidak pernah lepas dari bumbu kemacetan. hanya pada saat liburan. akan ada kelipatan setiap antrean. beramai - ramai membuat keributan. semua orang berduyun - duyun mencari hiburan. saat berhasil rebutan, dengan souvenir kesukaan. akan menjadi sesuatu yang membanggakan. kau akan terus bersenggolan, dengan orang asing yang berpapasan. lalu kau akan dengar teriakan, tukang becak yang tidak diberi jalan, dan pedagang yang sedang berjualan. kaum lanjut usia mulai kelelahan, berjalan menuju parkir kendaraan. anak kecil meronta tentang mainan, yang dijual pedagang pinggir jalan. tidak akan yang mempermasalahkan, tentang jumlah rupiah yang dikeluarkan. begitulah liburan. yang digadang melepas kepenatan. justr

Matinya Bait - Bait Puisi

sumber gambar : pinterest       Lepas dini hari, untuk menghibur diri, kau sambangi kedai kopi. bersama dengan pujaan hati . t anpa kau sadari, ada yang pelan - pelan mengamati , mengumpulkan kata - kata penuh arti ,   setiap kal imat ter simpan begitu rapi .   meski kau mencari, di mana ia bersembunyi , meski kau coba mengerti, kau tidak akan berhasil memahami.        usai ka ta dik ebiri, akan s egera diakhiri, setiap bait - bait p uisi , yang menumpuk banyak i lusi, sebagai atas nama ber macam intuisi.  puisi telah mati. tanpa setitik em pati, yang membawa tubuhmu sendiri, sekedar mengundangmu - kemari , pada pukul du a dini hari, dengan sebuah janji.  

Undangan

akan ada sepucuk undangan, tentang sebuah upacara pemakama n. yang ditemukan di tengah persi mpangan , yang membawa kita --- berpapasan. aroma bunga seda p malam, me ngantarkan sepasang mata terpejam. tidak ada yang sempat terekam ,  hanya akumulasi kebaika n yang bersemayam.   akan kukenakan gaun hitam kesukaan, sementara kau akan datang dengan jas hitam kebanggaan. kita akan d ikelilingi keterdiaman , sem bari menenga dahkan tangan , berdialog kepada Tuhan. kita akan berdiri berhadapan , menebak sia pa yang akan memulai percakapan.     akan kau temukan, bahwa jarak keh idupa n dan kematian, hanya a kan berki sar pada tumpua n pijakan ,       saat raga tidak lagi mampu mencipta gerakan.    tidak ada yang mau membayangkan kepergian, sebab itu tidak ada yang sempat berpamitan.    tidak ada yang mempersiapkan rentetan kata perpisahan. kita terjerumus, pada kerahasiaan. kita beradu, pada penyesalan.

Tentang Tahta

Lukisan : Rika Rahmawati dalam Delayota Art #9, Towards Prosperity ketika ada yang berbicara tentang tahta, maka nyawa adalah tanda tanya. entah siapa yang menjadi penguasa, akankah setiap suara yang ada, dapat menjadi tokoh utama?   di balik layar kepercayaan, desis pembicaraan menjadi pertimbangan. kepada setiap putusan, yang berujung kepada keuntungan, yang digadang sebagai tujuan. ada yang berlomba bersandiwara, menjabarkan diri sebagai juara. menyangkal adanya beda, agar semua terlihat sama.   maka di sudut ruangan, akan ada setumpuk catatan, cerita mengenai sebuah jabatan, meski tidak ada keabadian dalam kekuasaan. kepada setiap insan, yang berikhtiar kepada kebaikan, entah apa yang dipersiapkan, apakah itu gebrakan perubahan, atau sekedar sebuah keberlanjutan, semoga semesta akan selalu memberikan jalan.

Pemuda Tanpa Nama

pemuda tanpa nama, membawa amanah semesta mengiring nasib sebuah bangsa. pemuda tanpa nama, berdiri di bawah tiang bendera, menyuarakan satu suara. pemuda tanpa nama, sesekali berziarah, pada besarnya sejarah. pemuda tanpa nama, karut pada dedikasi, memenangkan diri sendiri, di depan ibu pertiwi. sesekali kembali pada titik bifurkasi, tentang tonggak sebuah reformasi. akankah dikremasi ataukah abadi dalam setiap puisi. pemuda tanpa nama, tak lagi banyak beradu, duduk termangu dan memutar memori jaman dulu. tentang semangat yang tidak pernah padam, tentang cita-cita yang tertanam, tentang setiap perjuangan yang terekam, menjadi bukti negeri ini tidak bungkam ketika ditikam. pemuda tanpa nama akankah memberikan perubahan? akankah menuai gerakan? akankah saling beriringan? akankah mengentas kemiskinan? akankah menggebrak pembangunan? akankah menumpas penindasan? akankah memberhentikan kebohongan? akankah menuntask

Duniawi

Hujan berhasil menutup hari. Setiap orang mulai menciptakan semestanya sendiri, dari sorot matanya tertulis berbait-bait puisi. Kau akan mempercayai, bahwa semua hal akan berakhir seperti ini. Semua orang akan pergi, tanpa waktu yang pasti.  Tidak ada yang peduli Tidak ada yang bisa kau jumpai. Tidak ada satu orang pun yang kau kenali. Tidak ada yang benar - benar mengerti, bagaimana menciptakan sepi, hingga tidak ada lagi yang bisa dimiliki. Tidak ada yang benar - benar memahami, bagaimana isi hati, hingga terselip di antara belati. Entah siapa yang akan mati, dan paling banyak mengundang empati. Entah siapa yang akan kembali, dengan mengucap selamat pagi. Entah siapa yang akan berhenti, pada perdamaian kepada badai. Semuanya sibuk memutar memori, pada rasa yang tak sampai, pada sabar yang tak bertepi, pada kenangan yang tak basi.

Satu Purnama

Resource : Pinterest on fivehundredpx Pada satu purnama, kehadiran tanpa papan nama. Identitas seperti sebuah lencana, apa yang tertuang di dalamnya adalah rencana. Pada satu purnama, hujan berdialog tanpa irama, dan tidak ada yang saling bertegur sapa. Orang - orang mulai menulis sajak yang sama, dengan cara yang berbeda, berharap prasangka mereka terbaca. Namun, tidak semuanya bersuara, ada yang asik menyimpan rahasia. Tidak bisa berhenti ber-sinestesia, mengandalkan sistem panca indera, lalu rikuh angin barat laut memecah suasana. Siapa sangka, waktu memberi kesempatan, pada setiap keterasingan, menciptakan seutas senyuman. Dengan sebuah uluran tangan, sebagai awal pertemuan, yang menjadi dasar ingatan. Atau sekedar mengisi kesendirian, dan terjatuh pada titik perpisahan. Sesingkat itukah kehidupan yang selama ini dibanggakan?

Waktu

akan ada pesan, kepada perpisahan. akan ada sedikit bingkisan, kepada pertemuan. hingga kemudian, akan ada hidangan kesukaan, di atas meja perjamuan. sampai ada yang pergi -- berpamitan. musim tiba - tiba berlalu, debu musim kemarau mulai tersapu, sebab hujan mulai menderu, dan udara dingin terasa beku. setiap raga diburu waktu. tidak ada yang sempat menunggu, apalagi duduk terpaku, dan kereta api mulai melaju, meninggalkan hari lalu.

Berpulang.

Ada raga yang tidak ingin tumbang, meski suaranya kini terdengar sumbang, dari kejauhan sepintas terlihat seseorang, dengan tangan terbentang. Genap sewindu, katamu. di sore hari yang semu, di beranda rumah yang berdebu, kau sebut itu rindu. apakah hari ini kau akan pulang? pertanyaan itu selalu terulang. entah berapa ratus alasan yang berhasil kau karang. agar sang penanya menjadi tenang. Beratus kilometer terbentang, foto berfigura itu kini mulai usang.  banyak kejadian yang tanggal, sebab ucapan selamat tinggal.  akankah sebab dari kerinduan, dari kata - kata yang berhasil terkumpulkan, dari rupa - rupa kehilangan, atas balasan penantian, berhasil membuat pertemuan? Maka di sudut beranda rumahmu. Ibu akan mencatat jam keberangkatanmu. siap melambaikan tangan paling dahulu. saat sosokmu terlihat di ambang pintu. Ibu akan mempersiapkan pakaian baru. siap mendekapmu dengan sebongkah haru. Sebab waktu tak perlu lagi

Nyala

  Ada yang membawa nyala, lewat dua bola mata, yang asik bercerita,  menjadi makna di setiap kata. Ada yang menjadi nyala, tanpa menimbulkan bara setelah lama mengembara ditemani lentera. Ia adalah nyala, dari bilik jendela, menawarkan segurat cahaya  mencipta banyak tanya dari para pemuja yang bergelayut penuh manja. Kepada setiap jiwa yang mengentas d uka yang tumbang sebab luka hingga berlumur murka T etaplah menyala, meski hadir beribu cela. me ski tak butuh seorang pembela. Tetaplah menyala, d alam setiap a ksara dalam segala suara tanpa peduli adanya sengsara. Sebab menjadi nyala mampu memperdaya setiap insan manusia akan selalu ada kecewa di balik bahagia.

Kepada : Punggung

Kepada punggung : Yang rela membeli ratusan tiket keberangkatan, dan selalu berakhir dengan pembatalan. Ia masih duduk termangu, ada seseorang yang masih ingin ditunggu. Kepada punggung : Yang selalu memesan kopi, pada pukul dua pagi. Ia selalu memaksa fungsi tubuhnya tetap bekerja, sebab ia tak bisa berhenti terjaga. Kopi hitam itu selalu menjadi andalan, entah karena warna pekatnya, entah karena aroma seduhannya, atau entah karena sugesti yang menenangkan.  Kepada punggung : Yang enggan menulis pesan singkat, justru membawa se-bucket mawar putih sebagai pemikat. Di sudut ruangan Ia masih sibuk melukis, ada banyak perihal berkecamuk yang ingin ditepis. Kertas, Kanvas, Kuas, Ia ingin mereka semua puas. Kepada punggung : Yang memilih lebih banyak diam di depan jendela, sebab banyak hal yang telah ia cela. Ia tak ingin diusik, bahkan hanya dengan bisik. Kepada punggung : Diabaikannya jemputan, Ditolaknya pengakua

Rembulan di Peraduan

Semalam, Rembulan mengambil posisi di tengah Peraduan memberi surat pengaduan atas nama kemanusiaan. Surat pengaduan kepada Tuan yang tidak ingin memberikan pengakuan, bahkan satu kalimat berisi penjelasan, kepada waktu yang ingin selalu ditunggu. Pukul dua belas malam, lampu kota telah padam Secangkir kopi masih tersedia, sebab segelintir manusia masih terjaga. sebab Rembulan masih ingin menjaga.     Sementara, di balik tirai - tirai kegelapan, Rembulan masih membuat kegaduhan di tengah Peraduan lewat temaramnya sinar di atas jembatan menyebar benih kenangan di sepanjang jalan. Semalam, Rembulan mencemaskan datangnya pagi, sebagai tanda Peraduan kembali menutup diri, enggan diberi janji bahkan sekedar untuk berbasa - basi.