Langsung ke konten utama

Surat Yang Tak Pernah Sampai



(Dikutip dari Filosofi Kopi, Dee Lestari dengan beberapa penggubahan)

Suratmu itu tak akan pernah terkirim, karena sebenarnya itu hanya keinginan berilusi untuk berbicara pada dirimu sendiri. 
Kamu hanya ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang mencari makan, dengan malam, atau bahkan dengan detik jam yang seakan tak ingin menggeser rotasinya.
Semuanya tentang dia.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. 
Dia, racun yang membunuhmu perlahan.
Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.

Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, 
membencimu hingga muak dan membuatnya mendekati gila, 
menertawakan segala kebodohannya, 
kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu, 
menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa. 

Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya- dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait.
Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda benda yang ia hanguskan-bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila-berterbangan masuk ke matanya. 
Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. 
Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.

Tapi, sebelah darimu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan cinta. Kemudian mendamparkan diri kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan dan ketabahan hati. 
Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes airmata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti akan bermuara di satu samudera tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala
Dan itulah tujuan kalian.



Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan kedunia. 
Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. 
Berjalan dengan kompas masing-masing tanpa ada usaha saling mencocokan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama cinta dan perjuangan yang Tidak Boleh Sia-Sia. 
Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. 
Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar.
Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.



Lama baru kamu menyadari bahwa Pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.

Lama bagi kamu untuk berani menoleh kebelakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinnya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh dipelihara. 
Bahwa dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih membutuhkan mekanisme untuk bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu



Hingga akhirnya
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin ia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkan bahwa ini memang sudah usai. 

Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
.

.
.
.

Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih ada sejumput dirimu yang bertengger tidak mau pergi dari perbatasan yang tidak usai. 



Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk terus menemani sejarah.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan. 

Ia akan berteriak-teriak ingin pulang.
Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus.
Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah semacam mercusuar, kompas, bintang selatan yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. 

Yang mendamba untuk mengalami.
Aku , yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu.
Surat-surat yang tak pernah sampai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebentar

Aku bilang tunggu sebentar. Kita sedang tak saling mengejar. Kita juga tak sedang asik berkelakar. Katamu kau tak suka sesumbar. Begitu urusanmu dan minuman di bar. Atau tentang mengapa matamu selalu berbinar. Kau juga tak suka hingar bingar. Tak peduli dengan berita yang tersebar. Atau karena pasangan yang baru saja bubar. Lalu aku sibuk merapal ikrar, di tengah pulau dan terdampar. Cinta ini kau bilang harus dibayar. Dengan setengah mendesak dan tak sabar. Aku bilang tunggu sebentar. Kamu dan fantasimu yang liar. Namun jauh dari caraku bernalar. Begitu pula pandanganku membuyar.

Liburan.

sumber gambar : raya pos siapa pembenci liburan? semua sarana diwarnai kepadatan. orang - orang membentuk kerumunan, di stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, disibukkan jam keberangkatan dan kedatangan.  dan ruas jalan tidak pernah lepas dari bumbu kemacetan. hanya pada saat liburan. akan ada kelipatan setiap antrean. beramai - ramai membuat keributan. semua orang berduyun - duyun mencari hiburan. saat berhasil rebutan, dengan souvenir kesukaan. akan menjadi sesuatu yang membanggakan. kau akan terus bersenggolan, dengan orang asing yang berpapasan. lalu kau akan dengar teriakan, tukang becak yang tidak diberi jalan, dan pedagang yang sedang berjualan. kaum lanjut usia mulai kelelahan, berjalan menuju parkir kendaraan. anak kecil meronta tentang mainan, yang dijual pedagang pinggir jalan. tidak akan yang mempermasalahkan, tentang jumlah rupiah yang dikeluarkan. begitulah liburan. yang digadang melepas kepenatan. j...

Fatamorgana

Sumber : Pinterest Sudah cukup lama, dua pasang mata, ingin berbicara, dalam sebuah bahasa. Seolah menuai cerita, bahwa dunia ini fana, dan tidak ada apa-apa. Tak banyak kata, yang diselipi makna. Pukul satu malam. Begitulah janji itu terbungkam. Lampu kamar kian temaram, Dan ia masih saja terdiam, Asyik dengan deret kalimat yang terpendam. Dua pasang mata itu tak kunjung terpejam. Katanya dunia ini terlalu kejam, Usai kulihat tubuhnya penuh lebam. ia tak pernah berhenti, menciptakan beragam ilusi. Lalu menuai inspirasi, tanpa sebuah selebrasi. Entah apa yang ia cari, kutemui ia berjalan kesana kemari, lagi-lagi hanya seorang diri, di setiap percakapan dini hari. apakah kita punya luka yang sama? apakah kita membaca halaman buku yang sama? apakah kita menghafal lirik lagu yang sama? apakah kita punya kesamaan tanpa aba-aba? Dari jauh, Terlihat jelas raganya masih utuh, Meski jiwanya tinggal separuh, Tak ada yang berani menyentuh. ...