Langsung ke konten utama

Belantara Peristiwa

Sumber gambar : Pinterest

Satu kompi pergi menjauh,
lalu ku dengar orang - orang mengeluh.
Baju - baju sudah penuh dengan peluh,
lalu faktanya sudah banyak yang terjatuh,
Kisah - kisah menjadi seperti tak pernah utuh.   

Penjual bunga masih gigih di jalanan,
entah berapa puluh tangkai yang dirangkai seharian.
Pengamen masih asyik dengan nyanyian,
namun tak ada sebatang rokok yang dinyalakan.
sebab tiga uang koin ga sanggup buat jajan.
Lagi - lagi ia mampir makan di angkringan.
Para kuli kalap dengan hidangan.

Sementara di pojok taman,
Dua orang asyik berkencan,
Sesekali mesra bergandengan.
Tak jarang menuai pertikaian,
Sebab tak ada kabar yang tersampaikan.
Siapa lagi yang mengharapkan pertemuan?  
Lantas siapa lagi yang bisa saling disalahkan?

Begitu enggan,
dan dengan sungkan,
Seorang bapak merapal jumlah kecelakaan,  
yang menyisakan darah - darah bececeran,
tapi tak kunjung jua menuntas perasaan.  

Dengan pemain ala kadarnya,
selayaknya ahli pengarang naskah drama.
Riwayat kita begitu fana,
di tengah milyaran tahun semesta. 
Kita hanyalah bagian belantara peristiwa.
Sesekali kita harus menerebas rimbanya.
Tapi kita bisa ada dalam keteduhannya.
Ah, tidak ada yang tau pastinya.
Ya, kita bukan apa - apa.

Siapa lagi yang berlomba
pada kepentingan yang sama besarnya?
Siapa yang peduli dengan urusan kita?

Di kota besar yang gerah hawanya,
adakah seseorang yang bertanya
matahari tenggelam jam berapa? 
untuk apa?
apa untungnya?
sudah jelas banyak ruginya.
pagi dan senja tidak ada artinya.
 
siapa gerangan yang menuntut ini menjadi sempurna?
bahkan kita sudah cukup berbahagia,
mendengar kabar seseorang jauh di sana.
di tengah belantara peristiwa,
kita tetap saling menyapa.
meski kita tidak pernah memilih warna yang sama.
jangan - jangan sudah kadaluarsa,
sesaat setelah kita mulai merasakannya,
sebab kita mungkin banyak bertanya,
perihal senyawa yang tiada. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaki Waktu dan Kamu

aku ingin memaki waktu. lalu bertanya mengapa kita harus bertemu? kamu hanya bilang, pasti ada alasan tertentu. aku ingin memaki kamu. yang merenggut terlalu banyak kesabaranku. yang mengambil seenaknya senyumku. yang meminjam terlalu lama waktuku. yang merampas rinduku. aku ingin memaki waktu. saat aku harus bertemu kamu. saat aku harus bersama kamu. aku ingin memaki kamu. seandainya kamu tak rajin menyapaku. seandainya kamu tak tersenyum padaku. seandainya kamu tak merecoki hari-hariku. seandainya kamu tak banyak menyuruhku. seandainya kamu tak menghubungiku saat itu. seandainya kamu tak minta aku menemanimu. seandainya kamu tak perlu menyimak ceritaku. seandainya kamu tak perlu datang kerumahku. seandainya kamu tak pernah membaca tulisanku. seandainya kamu tak banyak menebar pesonamu. seandainya kamu tak mengajakku makan sore itu. seandainya kamu tak ceramah panjang di hadapanku. seandainya kamu tak pergi ke konser musik kesukaanku. sean

Berkisah

kita seringkali berkisah, sekedar berkeluh kesah, saat bau tanah masih basah. aku tak fasih menyanggah, dan kamu enggan mengambil jalan tengah. katamu kita ini terlalu sering tertunduk pasrah. dengan setengah terpaksa dan dipaksa, kita memilih berpisah. titik temu seperti suatu wilayah entah berantah. kita tak cukup tenaga dan waktu untuk membantah. sementara semesta mengizinkan raga sejenak singgah. lalu kita sama-sama resah, saat menyambut sebuah senyum merekah.