Langsung ke konten utama

Kepada : Punggung



Kepada punggung :
Yang rela membeli ratusan tiket keberangkatan,
dan selalu berakhir dengan pembatalan.
Ia masih duduk termangu,
ada seseorang yang masih ingin ditunggu.

Kepada punggung :
Yang selalu memesan kopi,
pada pukul dua pagi.
Ia selalu memaksa fungsi tubuhnya tetap bekerja,
sebab ia tak bisa berhenti terjaga.
Kopi hitam itu selalu menjadi andalan,
entah karena warna pekatnya,
entah karena aroma seduhannya,
atau entah karena sugesti yang menenangkan.

 Kepada punggung :
Yang enggan menulis pesan singkat,
justru membawa se-bucket mawar putih sebagai pemikat.
Di sudut ruangan Ia masih sibuk melukis,
ada banyak perihal berkecamuk yang ingin ditepis.
Kertas,
Kanvas,
Kuas,
Ia ingin mereka semua puas.

Kepada punggung :
Yang memilih lebih banyak diam di depan jendela,
sebab banyak hal yang telah ia cela.
Ia tak ingin diusik,
bahkan hanya dengan bisik.

Kepada punggung :
Diabaikannya jemputan,
Ditolaknya pengakuan,
Ditampiknya kebebasan,
Diambilnya keserakahan.

Kepada punggung :
Bicaralah - tanpa berkilah.
Pergilah - bukan karena kalah.
Tenanglah - bukan karena resah.
Berteduhlah - bukan karena basah.
Mendekatlah - bukan karena celah.
Berdamailah - bukan karena masalah.
Pulanglah - bukan karena ada rumah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebentar

Aku bilang tunggu sebentar. Kita sedang tak saling mengejar. Kita juga tak sedang asik berkelakar. Katamu kau tak suka sesumbar. Begitu urusanmu dan minuman di bar. Atau tentang mengapa matamu selalu berbinar. Kau juga tak suka hingar bingar. Tak peduli dengan berita yang tersebar. Atau karena pasangan yang baru saja bubar. Lalu aku sibuk merapal ikrar, di tengah pulau dan terdampar. Cinta ini kau bilang harus dibayar. Dengan setengah mendesak dan tak sabar. Aku bilang tunggu sebentar. Kamu dan fantasimu yang liar. Namun jauh dari caraku bernalar. Begitu pula pandanganku membuyar.

Candu

Source : Pinterest siapa yang jadi candu di sela malam menuju minggu, ditemani seduhan kopi kesukaanmu, lirik lagu sendu yang semakin syahdu, saat kamu nyanyikan bersama idolamu, atau karena ada seseorang berdiri di sebelahmu. aku atau kamu tidak ada yang pernah tau. kata - kata yang terbesit di benakku, adalah caraku mengabadikan bayangmu. meski potrait foto nuansa abu-abu, hasil tangkapan dari lensa kameramu. juga tercipta tanpa malu-malu dan ragu. pelan pelan ku simpan senyummu, di dalam tas selempang buluk favoritku, kuambil dari persimpangan dan redupnya lampu. lalu ku tulis satu bait kalimat dalam buku harianku. setidaknya nanti ada yang bisa menjelaskan untukmu : waktu. pukul satu pagi, seseorang yang datang tanpa permisi, tanpa ucapan selamat tinggal baru saja pergi, meski hanya bayang-bayang yang mengisi, tak ada yang berhak mengungkitnya kembali. meski ufuk timur menyeruak dengan aroma pagi yang dibalas dengan pahitnya ...

Berkisah

kita seringkali berkisah, sekedar berkeluh kesah, saat bau tanah masih basah. aku tak fasih menyanggah, dan kamu enggan mengambil jalan tengah. katamu kita ini terlalu sering tertunduk pasrah. dengan setengah terpaksa dan dipaksa, kita memilih berpisah. titik temu seperti suatu wilayah entah berantah. kita tak cukup tenaga dan waktu untuk membantah. sementara semesta mengizinkan raga sejenak singgah. lalu kita sama-sama resah, saat menyambut sebuah senyum merekah.